Ada
semburat cahaya yang membuat malam-malam agak berbeda. Hujan yang
belakangan ini tak henti mengguyur permukaan bumi meredam terang
sinarnya menjadi tipis, semburat yang tipis namun mampu mengusir kabut
yang beberapa waktu ini menyelimutiku. Jalanan lengang, aspal basah,
titik-titik air yang berdiam di kaca masih menempel, semuanya
meninggalkan jejak mistis sang malam yang tersisa. Aku matikan mesin
mobil setelah mendapatkan lahan parkir yang nyaman, tepat di depan pintu
masuk kafe kecil sederhana yang sama sekali tak menarik penampakannya.
“Satu corona,”
ujarku pada pelayan kafe itu, seorang pria muda yang selalu melayani
pelanggan dengan ramah tamah yang berlebihan, demi dianggap asyik dan
tampak akrab dengan siapapun yang melenggang di area kafe kecil remang
itu.
“Sendiri aja, Mbak?” tanyanya sambil menarik lembaran menu dari atas meja depanku, lalu membetulkan posisi topi baseball merahnya.
Aku tersenyum pendek, “Nunggu,”
jawabku seadanya lalu mengambil telepon selular dan memakukan
perhatianku padanya, sebuah komando tanpa kalimat kepada si pelayan sok
akrab itu agar cepat melakukan tugasnya dan menyudahi basa-basi yang tak
akan kubayar dalam tagihan pesananku nantinya.
Lima menit lagi sampai...
Sepenggal pesan singkat kuterima dari mu dan kubalas dengan “Aku duduk
di meja kiri pojok seberang bar.” Frans adalah sahabat yang paling tak
punya waktu untuk diriku. Sudah tiga tahun aku menetap di ibukota,
sepertinya hanya dua kali ia menyanggupi untuk mengorbankan waktunya
yang begitu angkuh untuk meladeni permintaan manjaku akan
pertemuan-pertemuan sederhana. Frans memang tidak bodoh, ia tahu
pertemuan sederhana denganku akan berujung pusing karena terlalu banyak
minum alkohol atau menyesap bir tanpa henti hingga kantungnya pun
langsung kosong di tengah bulan. Tapi, aku tahu bahwa ia juga begitu
mencintai tiap waktunya denganku, waktu-waktu yang lebih berguna
ketimbang berdiam sendiri di kosan mewahnya dan merenung tanpa ingat
malam yang segera habis. Toh, lebih baik meladeni sahabat kecilnya
bercuap-cuap hingga waktupun terasa terbuang tak percuma.
Ah, sosok
pria rapih itu tiba juga. Makin tampan saja pria satu ini, mustahil
rasanya mendapati kenyataan bahwa ia masih sendiri dan membiarkan bagian
hatinya tak diisi oleh satu sosok perempuan pun. Masih sama seperti
terakhir aku bertemu dengannya, dan pertemuan sebelum pertemuan terakhir
itu: ia masih ompong merasa. Satu kecupan manis aku daratkan di pipi Frans, ia pasti baru bercukur.
“Hai,
sombong!” sapaku sambil menjambak rambut lurus rapihnya. Ia
mengusap-usap kepalaku, “Hehehehe,” begitu saja responnya. Dasar anak
kurang ajar memang dia.
“Jadi,”
ujarnya membuka percakapan setelah memesan satu botol bir hitam
kesukaannya. “Drama apa lagi yang terjadi kali ini?” katanya. Aku
tertawa sinis lalu menatapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala,
“Ah. Memang tidak boleh mengajak bertemu?” balasku. Ia tertawa
hingga kepalanya mendongak. “Baiklah, saya koreksi! Apa hal seru yang harus saya tahu?” tanyanya.
Kami
menyesap bir bersamaan, mengecapnya di bibir, lalu mengamati
orang-orang dalam kafe itu sesaat. Helaan napasku yang menciptakan suara
"Hhhhuff..." membuat Frans mengembalikan pandangannya padaku.
“Aku jatuh
cinta lagi,” bisikku sambil menjorokkan tubuhku ke depan, mendekat ke
arahnya. Ia diam, melepas genggamannya atas botol bir lalu tersenyum
satu detik kemudian. “Lalu, kenapa ini harus jadi isu yang menarik?”
tanyanya. Aku sudah bisa menebak respon itu, sungguh tipikal dan masih
belum ada perubahan ke arah respon yang lebih kreatif. “Karena perasaan
ini terasa begitu menyenangkan dan membebaskan,” kataku datar sambil
sumringah. Frans menyalakan sebatang rokok putih yang baru saja menjadi sahabat tenggorokannya selama dua satu bulan terakhir. Hembusan
pertama menjadi penuntun pandangan bola matanya yang mengikuti arah asap
putih itu melayang. Ia mengangkat kedua bahunya sambil menampilkan
ekspresi wajah yang berpikir keras.
“Okay, aku dengerin.” Katanya.
Aku
kembali bersandar pada dada sofa hijau tua yang menempel di dinding
kafe itu, menatap mata Frans dalam waktu sekian detik lalu tersenyum.
“Tidak panjang, sih, ceritanya. Aku cuma mau berbagi aja tentang betapa hal ini bikin gue bersemangat!” ujarku. Ia mengangguk saja sambil terus menghisap rokoknya, tatapan matanya memberi sinyal “Lanjutkan” untukku.
“Aku selalu merasakan rindu menggebu, hingga rindu itu membakar gue hidup-hidup
menjadi abu,” kataku tanpa menatap Frans. Rasanya apa yang ada dalam
dada ini terlalu kompleks untuk dijelaskan dengan kata-kata. Namun,
sebisa mungkin aku ingin dia cukup tahu bagaimana sukacita yang tengah
aku rasakan, sesulit dan seaneh apapun itu.
“Lalu,
tiba-tiba, setelah melalui fase yang sulit dan abstrak, perasaan ini
datang.” Lanjutku. Frans masih diam tak bergeming, ia telah memasang
setelan ‘mendengarkan’ dengan begitu rapih.
“Aku berhenti
jatuh cinta.” Ungkapku. Rasanya, kalimat itulah yang paling bisa
merangkum segalanya dengan mudah, walau sulit dicerna. Benar, Frans
mulai mengernyitkan dahinya, mengganti komando “Lanjutkan” menjadi “Apa
sih maksud kamu?”
“Cinta
itu melegakan, Frans. Bukan membebat, bukan mengekang simpul rasa,
bukan menyengsarakan semesta pikiran dan raga,” kataku. “Aku tidak berhenti mencintai, hanya berhenti jatuh cinta.”
“Jadi, maksudmu?” tanyanya benar-benar tak mengerti.
“Aku jatuh cinta dengan perasaan ini. Aku jatuh cinta dengan perasaan tak lagi jatuh cinta. Aku putuskan
memberi kebebasan pada rindu untuk terbang dan mendarat di landasan
paling jauh yang ia bisa.” Kataku sambil tersenyum lebar. Mata Frans
mendelik, dahinya mengernyit. Ia masih tak mengerti. "Aku ingin rindu tak sengsara, biarkan saja ia putuskan ingin memeluk angin, air, suara, pohon, atau apapun yang ia singgahi. Kamu tahu?
Suatu saat rindu akan kembali dan berbisik padaku bahwa ia telah
bersarang." tambahku, membuat bola mata Frans makin penuh tanda tanya
berwarna merah menyala. Darurat, harus segera mengerti! Begitu ujar
tanda tanya yang berserakan di matanya.
“Baiklah,
ini baru seru,” ujarnya pelan, menekan puntung rokoknya ke permukaan
asbak keramik itu. Frans melipat kedua tangannya di atas meja sambil
menatapku, menanti sambungan cerita berikutnya. Ia tengah berharap bisa
mengerti konsep utuh dari kalimat-kalimatku yang masih tak bertuan.***
Cirebon, 241213
Comments
Post a Comment