“Let’s get lost, lost in each other’s arms
Let’s get lost, let them send out alarms…”
Suara Chet Baker menyenandungkan Let’s
Get Lost tersetel di mobil yang sedang kamu kemudikan. Matahari nampak
mengintip centil dari balik-balik perbukitan Dieng yang kita lalui sore ini. Di
jalan setapak pada salah satu perbukitan, kamu menepikan mobil, dan mengajakku
turun.Kita berjalan kaki menapaki jalan bebatuan yang berliku. Udara segar,
hijau perkebunan, bukit-lembah hijau tak bertepi di sekeliling, serta telaga
Warna dan telaga Pengilon yang nampak dari atas sini adalah bonus bagiku.
Karena yang terpenting, adalah saat ini, bersamamu. Bersamamu yang lebih dari
sekedar satu pagi.
…
Dulu, melihatmu dari kejauhan saja sudah merupakan hal
mewah bagiku. Yang bisa kunikmati, tanpa harus kumiliki.
…
Di salah satu hari yang biasa, aku menuju halte busway
yang selalu sama setiap paginya. Dan seperti biasa, kamu, laki-laki
dengan leather postman bag berwarna cokelat, sudah berdiri di
sudut sana. Menanti bus dengan rute yang selalu sama. Kemeja lengan panjangmu
tergulung seperti biasa, earphone dari iPodmu yang selalu
terpasang di kedua telinga seolah menghipnotismu ke dalam alam lain di tengah
hiruk pikuk halte ini. Seandainya aku bisa tahu apa yang sedang kamu dengarkan,
atau setidaknya, seandainya aku bisa tahu siapa namamu. Nyatanya, aku selalu
saja hanya mampu lima meter berjarak darimu. Lima hari dalam seminggu, di
setiap pagiku, kamu si laki-laki denganleather postman bag berwarna
cokelat, selalu ada di sudut sana.
…
Dulu, melihatmu dari kejauhan saja sudah merupakan hal
mewah bagiku. Yang bisa kunikmati, tanpa harus kumiliki.
…
Semesta bercanda pada suatu kali. Dalam suatu insiden
kecil di bus pagi itu, kita berkenalan. Setelah hampir genap 100 pagi kita
dipertemukan lewat halte dan bus yang sama. Setelah puluhan kali mata kita
secara tidak sengaja beradu dalam bahasa yang asing. Kamu bekerja di sebuah
perusahaan yang berkantor pusat di gedung itu. Yang berjarak dua halte busway
dari kantorku. Mengenalmu adalah menyenangkan, karena setelahnya, pagi hari
menunggu bus bukan lagi tentang melirik jam dan me-refreshaplikasi
sosial media di iPhoneku, dan tentu bukan lagi tentang earphone yang
dulu tidak pernah absen menempel di kedua telingamu. Kita berbincang tentang
banyak hal, menunggu bus datang, dan terus berbincang di dalam bus hingga salah
satu dari kita tiba di halte tujuan. Begitu setiap harinya. Maka pada weekend pun,
aku merindukan hari kerja. Merindukan pagi hari bersamamu. Pagi di mana
definisi sarapan bagiku bukan lagi tentang asupan makanan di pagi hari, tapi
tentang bersamamu, di pagi hari.
…
Lalu di sinilah kita sekarang. Dieng. Roadtrip bersamamu
adalah hal yang paling menyenangkan. Dua hari yang lalu kita terbang dari
Jakarta ke Jogja dengan tiket yang telah terbeli sejak bulan lalu, dan dengan
surat izin cuti kantor masing-masing yang juga telah disetujui bulan lalu. Kita
lalu menghabiskan satu hari mengitari kota dengan kapasitasku sebagai eks
penghuni Jogja semasa berkuliah dulu. Dan tiba-tiba kamu mencetuskan ide
untuk roadtrip ke Dieng. Dan di sinilah kita sekarang. Dieng.
Setelah menempuh empat jam perjalanan dari Jogja dengan mobil sewaan.
…
Kini melihatmu dari kejauhan sudah tidak lagi menjadi
hal yang mewah bagiku. Nampaknya bersamamu yang lebih dari sekedar satu pagi –
dengan rentang waktu menunggu bus hingga tiba di halte tujuan – adalah hal
mewah yang baru bagiku. Dan aku tahu, aku sedang menikmatinya saat ini.
Begitupun kamu.
…
Ada banyak hal yang masing-masing dari kita sedang
coba untuk menolaknya saat ini, salah satunya, tentu saja; realita. Realita
bahwa baik aku, maupun kamu, sedang menikmati detik-detik ini. Realita bahwa
baik aku, maupun kamu, hidup dalam dunia berskala benar dan salah. Dan realita
bahwa baik aku, maupun kamu, saat ini sama-sama menyadari, cincin yang
melingkari jari manis masing-masing dari kita, adalah cincin yang berbeda satu
sama lain.
Secangkir teh dengan biskuit
cokelat
Bandung, 10 September 2013
Comments
Post a Comment