Skip to main content

Let's Get Lost





“Let’s get lost, lost in each other’s arms
Let’s get lost, let them send out alarms…”
Suara Chet Baker menyenandungkan Let’s Get Lost tersetel di mobil yang sedang kamu kemudikan. Matahari nampak mengintip centil dari balik-balik perbukitan Dieng yang kita lalui sore ini. Di jalan setapak pada salah satu perbukitan, kamu menepikan mobil, dan mengajakku turun.Kita berjalan kaki menapaki jalan bebatuan yang berliku. Udara segar, hijau perkebunan, bukit-lembah hijau tak bertepi di sekeliling, serta telaga Warna dan telaga Pengilon yang nampak dari atas sini adalah bonus bagiku. Karena yang terpenting, adalah saat ini, bersamamu. Bersamamu yang lebih dari sekedar satu pagi.
Dulu, melihatmu dari kejauhan saja sudah merupakan hal mewah bagiku. Yang bisa kunikmati, tanpa harus kumiliki.
Di salah satu hari yang biasa, aku menuju halte busway yang selalu sama setiap paginya. Dan seperti biasa, kamu, laki-laki dengan leather postman bag berwarna cokelat, sudah berdiri di sudut sana. Menanti bus dengan rute yang selalu sama. Kemeja lengan panjangmu tergulung seperti biasa, earphone dari iPodmu yang selalu terpasang di kedua telinga seolah menghipnotismu ke dalam alam lain di tengah hiruk pikuk halte ini. Seandainya aku bisa tahu apa yang sedang kamu dengarkan, atau setidaknya, seandainya aku bisa tahu siapa namamu. Nyatanya, aku selalu saja hanya mampu lima meter berjarak darimu. Lima hari dalam seminggu, di setiap pagiku, kamu si laki-laki denganleather postman bag berwarna cokelat, selalu ada di sudut sana.
Dulu, melihatmu dari kejauhan saja sudah merupakan hal mewah bagiku. Yang bisa kunikmati, tanpa harus kumiliki.
Semesta bercanda pada suatu kali. Dalam suatu insiden kecil di bus pagi itu, kita berkenalan. Setelah hampir genap 100 pagi kita dipertemukan lewat halte dan bus yang sama. Setelah puluhan kali mata kita secara tidak sengaja beradu dalam bahasa yang asing. Kamu bekerja di sebuah perusahaan yang berkantor pusat di gedung itu. Yang berjarak dua halte busway dari kantorku. Mengenalmu adalah menyenangkan, karena setelahnya, pagi hari menunggu bus bukan lagi tentang melirik jam dan me-refreshaplikasi sosial media di iPhoneku, dan tentu bukan lagi tentang earphone yang dulu tidak pernah absen menempel di kedua telingamu. Kita berbincang tentang banyak hal, menunggu bus datang, dan terus berbincang di dalam bus hingga salah satu dari kita tiba di halte tujuan. Begitu setiap harinya. Maka pada weekend pun, aku merindukan hari kerja. Merindukan pagi hari bersamamu. Pagi di mana definisi sarapan bagiku bukan lagi tentang asupan makanan di pagi hari, tapi tentang bersamamu, di pagi hari.
Lalu di sinilah kita sekarang. Dieng. Roadtrip bersamamu adalah hal yang paling menyenangkan. Dua hari yang lalu kita terbang dari Jakarta ke Jogja dengan tiket yang telah terbeli sejak bulan lalu, dan dengan surat izin cuti kantor masing-masing yang juga telah disetujui bulan lalu. Kita lalu menghabiskan satu hari mengitari kota dengan kapasitasku sebagai eks penghuni Jogja semasa berkuliah dulu. Dan tiba-tiba kamu mencetuskan ide untuk roadtrip ke Dieng. Dan di sinilah kita sekarang. Dieng. Setelah menempuh empat jam perjalanan dari Jogja dengan mobil sewaan.
Kini melihatmu dari kejauhan sudah tidak lagi menjadi hal yang mewah bagiku. Nampaknya bersamamu yang lebih dari sekedar satu pagi – dengan rentang waktu menunggu bus hingga tiba di halte tujuan – adalah hal mewah yang baru bagiku. Dan aku tahu, aku sedang menikmatinya saat ini. Begitupun kamu.
Ada banyak hal yang masing-masing dari kita sedang coba untuk menolaknya saat ini, salah satunya, tentu saja; realita. Realita bahwa baik aku, maupun kamu, sedang menikmati detik-detik ini. Realita bahwa baik aku, maupun kamu, hidup dalam dunia berskala benar dan salah. Dan realita bahwa baik aku, maupun kamu, saat ini sama-sama menyadari, cincin yang melingkari jari manis masing-masing dari kita, adalah cincin yang berbeda satu sama lain.

Secangkir teh dengan biskuit cokelat
Bandung, 10 September 2013



Comments

Popular posts from this blog

Bukan Retak, Tetapi Patah

Siang ini saya mendapat telepon dari Ayah. Biasanya beliau hanya menghubungi melalui whatsapp atau pesan singkat melalui handphonenya. Itu pun dapat dihitung dalam satu tahun, mungkin tiga kali dalam satu tahun, banyaknya empat atau lima kali satu tahun. Tidak pernah lebih.  Disaat yang sama, kebetulan saya sedang istirahat makan siang, sungguh kebetulan. Kebetulan, saya sejujurnya tidak percaya dengan hal kebetulan, tetapi kali ini alur ceritanya seperti itu. Siang ini matahari begitu terik, saya baru saja menyeruput minuman es teh manis, favorit untuk ukuran saya dan keadaan kantong saku saya, hehe. Selama saya berada di kota orang, saya tidak pernah berbicara panjang lebar dengan Ayah. Semuanya selalu berjalan dengan cepat, singkat dan padat. Tanpa basa-basi. Itu salah satu karakter Ayah saya, ternyata menurun pada diri saya. Topik pembicaraan yang disuguhkan Ayah sungguh membuat heran, tidak biasanya beliau menghubungi saya dan bercerita layaknya sebuah percakapan anta...

Sangkut

Places

Setelah beberapa waktu ini engga banyak nulis, akhirnya kali ini bisa nulis juga. Tentu disuasana yang beda sama pemikiran yang berbeda. Waktu rasanya cepet banget kali ini. Mulai nulis taun 2009 (tapi blog lama lupa password, penyakit), ga berasa aja sekarang udah tahun 2016. Tulisan di tahun ke-7 ini banyak rasa-rasa yang udah campur aduk, perjalanan yang berasa bukan kelok-kelok lagi, tapi udah berasa "ribet". Ya, gini adanya. Buat nulis hari ini, banyak kerjaan dulu yang harus diberesin dan gatau tiba-tiba punya inisiatif tingkat tinggi buat beresin beberapa file yang acak-acakan di dekstop sama di beberapa folder laptop. Ya sedikit mendingan dibanding sebelumnya. Yang belum mendingan cuma laptopnya aja, masih jadul (belum mampu beli dan secara ga langsung masih nyaman buat dipake), ya gitulah! :D Ngomong-ngomong ini persis 1 taun lebih 20 harian tinggal di kota orang (Jakarta) dan ya 8 bulan yang lalu genap umur saya di usia 23 tahun. Itu taun kedua sih ngerayai...