Ada
begitu banyak luapan emosi yang lama tak tertuang di sini. Satu hari
berganti dan terus berlari, aku sengaja tak sengaja memendamnya. Rasanya
memang mustahil, mengingat aku bukan tipe orang yang biasa membiarkan
rasa mengendap di dalam hati dan pikiran, tapi aku terlalu larut merasa
hingga tak kuasa mewujudkan apa kata hati. Aku tak ingin mengendapkan
rasa karena akan lama ia berlalu, hingga ujungnya hanya ada keluh kesah
mengenai waktu yang tak kunjung tiba. Biar kelincahan ini jadi kaku,
tapi jangan khawatir ia akan membeku. Lahar rindu masih lebih panas dan
mampu mencairkan kabung yang membeku, karena jarak.
Begini sayang, beberapa bulan yang lalu aku begitu fasih mengungkap duka ke dalam etalase kata yang menari sendiri tanpa aku rencanakan. Jika kini aku rehat dan buntu, maka ia bukan duka, bukan? Ah, itulah dia, nikmatnya sibuk merasa. Apapun tentang kamu makin lama semakin membumbung tinggi melebihi bukit manapun yang pernah hati ini jelajah. Satu waktu aku umumkan bahwa jarak adalah harga matiku untuk bersanding, jangan harap! Lalu, waktu itu mengalir dan menabung masanya menjadi sekian lama aku mengamini segala sesuatu yang terjadi dalam pusaran jarak dan rindu yang tak tertuang.
Tidak ada yang pernah aku duga tentang kamu, pun tentang kita. Setidaknya, sampai sejauh dan selama ini. Sederhana saja, aku mencintaimu sampai detik ini. Aku rasa detik di esok pun masih serupa dan persis rasanya. Lalu, ke manakah jarak memimpinku?
Satu kekuatan yang tak bisa kutempuh atau kusangkal sendiri, bahwa jarak telah memberikan tugu perasaan yang kini harus kuecap. Syukur atas nikmatnya rasa ini kadang membuatku menangis oleh rindu, oleh kemampuanku untuk berdiri dan tetap memilih kamu. Kira-kira begitu. Tidak sulit bukan?
Malam
ini aku memutuskan untuk mencoba kembali berlaku di etalase kataku
sendiri dan masih bisa kuberitahu padamu, bahwa kuat itu masih ada.
Seperti yang sering kita diskusikan bersama dengan penuh rindu dan haru,
suatu saat nanti, kala tidak ada laut yang memisahkan juga nelangsa
yang menyelimuti rindu tak bermeja, jarak adalah kekuatan kita untuk
mematri monumen rasa itu lebih kuat dari yang pernah (aku) perkirakan.
Amini saja.
Aku tetap merindukan kamu, dengan kuat.
Embuskan
saja napasmu malam ini, karena jarak masih membentang dan menjajah
manisnya angan di satu peraduan untuk membayar kita menikmati satu sama
lain.
Tapi,
Sayang, jangan lupa menyapa kaki pelangi, karena suatu hari nanti kita
akan bangun untuk menangkap tiap lapisan warnanya, di satu pijakan tanah
yang sama.
Kuatkanlah rindu ini, wahai jarak.***
Cirebon, 26 Desember 2013
di satu malam yang sama, ketika merindu kamu.
Comments
Post a Comment