Skip to main content

Elegi

Sempurna, seluruhnya terlihat sempurna. Permukaan bumi dan langit kali ini menunjukan tampaknya untuk menyergap diriku dari putaran bumi saat ini. Tubuhku saat ini didekap oleh langit dan bumi, kaki tak lagi berpijak dan mata tak lagi melihat seberapa luasnya bumi dan langit ini. Saat ini rusuk terasa terkikis sedikit demi sedikit lalu berubah menjadi serbuk yang beterbangan menyatu dengan semua kegelisahan ini.

Terlalu banya syair yang kulantunkan kali ini. Berkata dalam hatipun kini tak lagi mampu membendung segala tindakan yang ingin aku harapkan. Bayangan selalu menghantui dan membuat seluruh alam ini menjadi hitam putih. Katakan yang ingin dikatakan tidak sebanding dengan tindakan yang harus dilakukan pada saat ini. Kali ini, aku tidak mengingat tentang siapa diriku ini.

"Perbaikan..."
Hentikan segalanya dan buatlah diriku menjadi apa yang kamu inginkan. Tubuh ini bagaikan kaleng kosong yang tidak berisi. Bumi kini menjadikan diriku sebagai manusia tak berpenghuni, nelangsa. Bagai manusia yang tak sempat tergambarkan oleh tuhan. Hanya aku yang bisa bertanya, mungkinkan kau tau jawabnya. Malam yang menjadi saksi, aku berdua diantara kata yang tak terucap, berharap waktu membawa keberanian untuk datang membawa jawaban. 

"Mungkinkah kita, ada kesempatan. Ucapkan janji tak akan berpisah selamanya." 
Kita tak semestinya berpijak di antara, relung-relung yang tak terbatas seperti itu, ditengah kehampaan, mencoba untuk membuat pertemuan cinta. Lalu ketika surya tenggelam bersama, dingin kisah yang tak terungkapkan, mungkin kali ini bukan waktunya kembali pada nestapa atau mungkin kita yang tidak kunjung siap. 

Kita pernah, mencoba berjuang. Berjuang terlepas dari kehampaan ini. Meski hanya laluan cinta, yang tak akan mampu dan entah akan tdibawa kemana kita, adalah sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan, bertiup tak berarah dan berarah ketiadaan ataukan tak bisa bertemu terang didalam perjumpaan, abadi. 

Tahan ku tempat dari jauh, berjuang dari seribu pemuja, meriakan benihnya yang terhempas didaratan. Kemarin, aku hanya dapat tersapu oleh cahayamu yang kau pancarkan, merambat masuk hingga ku bertekuk lutut. Derau dan merasa kekesalan yang menjadi, kau gerakan kaki indahmu untuk memperlambat waktu dan segalanya langsung berubah, berjalan dsenada, senada.

Ku ingin kau bisa, tapi aku tak tau lagi, lagi harus kuberi. Andaikan kini kau meminta aku, terima saja apa adanya diriku dan akan kulakukan semuanya untukmu. Ada yang tak sempat tergambarkan oleh kata ketika kita berdua, kini aku hanya bisa bertanya, mungkin kau tahu jawabannya.

Kucari kamu dalam setiap malam, dalam bayang masa suram. Kucari kamu, dalam setiap langkah. Dalam raga yang membisu ini, raga ini tetap mencarimu. Langkah demi langkah ku jalani. Kucari kamu, dalam setiap ruang. Aku kini terdiam sepi, bagai aku yang menunggu kabar dari angin malam. 

Kini tak terasa gelap pun jatuh, diujung malam ini menuju pagi yang dingin. Hanya ada sedikit bintang malam ini, mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya, disana. Terang masih saja menjadi milik sang malam. bahkan malam yang terlalu terang sanggup menjadi terik. Dan matahari masih sedih, bersandar dibelakang, mungkin ia belum lelah menanti kedatangan cinta.






Comments

Popular posts from this blog

Bukan Retak, Tetapi Patah

Siang ini saya mendapat telepon dari Ayah. Biasanya beliau hanya menghubungi melalui whatsapp atau pesan singkat melalui handphonenya. Itu pun dapat dihitung dalam satu tahun, mungkin tiga kali dalam satu tahun, banyaknya empat atau lima kali satu tahun. Tidak pernah lebih.  Disaat yang sama, kebetulan saya sedang istirahat makan siang, sungguh kebetulan. Kebetulan, saya sejujurnya tidak percaya dengan hal kebetulan, tetapi kali ini alur ceritanya seperti itu. Siang ini matahari begitu terik, saya baru saja menyeruput minuman es teh manis, favorit untuk ukuran saya dan keadaan kantong saku saya, hehe. Selama saya berada di kota orang, saya tidak pernah berbicara panjang lebar dengan Ayah. Semuanya selalu berjalan dengan cepat, singkat dan padat. Tanpa basa-basi. Itu salah satu karakter Ayah saya, ternyata menurun pada diri saya. Topik pembicaraan yang disuguhkan Ayah sungguh membuat heran, tidak biasanya beliau menghubungi saya dan bercerita layaknya sebuah percakapan anta...

Sangkut

Places

Setelah beberapa waktu ini engga banyak nulis, akhirnya kali ini bisa nulis juga. Tentu disuasana yang beda sama pemikiran yang berbeda. Waktu rasanya cepet banget kali ini. Mulai nulis taun 2009 (tapi blog lama lupa password, penyakit), ga berasa aja sekarang udah tahun 2016. Tulisan di tahun ke-7 ini banyak rasa-rasa yang udah campur aduk, perjalanan yang berasa bukan kelok-kelok lagi, tapi udah berasa "ribet". Ya, gini adanya. Buat nulis hari ini, banyak kerjaan dulu yang harus diberesin dan gatau tiba-tiba punya inisiatif tingkat tinggi buat beresin beberapa file yang acak-acakan di dekstop sama di beberapa folder laptop. Ya sedikit mendingan dibanding sebelumnya. Yang belum mendingan cuma laptopnya aja, masih jadul (belum mampu beli dan secara ga langsung masih nyaman buat dipake), ya gitulah! :D Ngomong-ngomong ini persis 1 taun lebih 20 harian tinggal di kota orang (Jakarta) dan ya 8 bulan yang lalu genap umur saya di usia 23 tahun. Itu taun kedua sih ngerayai...