Kali ini, kuletakan cangkir ini tidak pada tempat yang sama seperti dulu. Seperti saat dahulu kita bersama, segala yang menyangkut kita, pada saat kita lakukan bersama-sama. Tertawa dan bermanja ria.
Ku duduk dipekarangan depan rumah, kini ku ganti kelinci-kelinci sebagai teman kita untuk bermain dahulu, yang dahulu kita rawat bersama, yang dahulu kita selalu tertawa didepan kelinci-kelinci jinak nan lucu tersebut. Ku ganti menjadi seekor rusa kecil, dengan tanduk yang hanya menonjol beberapa inci dari kepalanya. Banyak alasan mengapa kini ku mengganti hal-hal yang membuatku menarik untuk kulalui kala itu. Saat ini, kau bisa melihat betapa murungnya diriku pada saat kau tak ada di bagian hidupku.
Pengandaian selalu ku lakukan setiap saat. Karena saat ini, hal yang paling menyenangkan untuk kulakukan bukan untuk bermain dipekarangan depan rumah dengan hewan-hewan tersebut, tetapi mengandai. Andai semuanya seperti saat kita bersama, sepert dahulu. Kuharap kau ikuti perkembanganku saat ini. Karena aku hanya ingin dirimu, bukan mereka.
Melihat betapa beratnya segala derap langkahku setiap harinya. Rumah besar ini dibalut dengan pekarangan mungil nan indah. Pohon sakura yang kau tanam, dahulu tampak segar pada saat kita bersama-sama, kini merekapun menjadi sama seperti diriku, rapuh dan lesu. Merasakan apa yang kurasa, terlalu baik mereka saat ini, tetapi hati ini hanya ingin bila hanya diriku saja yang merasakan segala kerumitan dan keruwetan yang kurasakan, jangan mereka, jangan dia.
Kuhirup bau tanah yang mengembang diatas permukaan tanah menuju udara dikarenakan gemericik hujan kini menetes secara perlahan menjadi semakin deras. Sinar surya kini mulai tertunduk malu untuk memberikan kehangatannya kembali untuk bumi, untuk diriku. Dingin menyelimuti diri ini, lagi dan lagi. Ku pikir, alam juga tak mampu untuk menghangatkan diriku ini. Mereka secara perlahan mundur teratur bagaikan prajurit yang lari kocar-kacir disaat tahu bahwa pemimpinnya tumbang dibelati oleh lawannya. Menyayat.
Uhhhh....
Biasanya, sore ini menjadi waktu yang menarik untuk kita nikmati bersama hingga malamnya. Aku pulang menuju rumah dan kau datang untuk menemaniku merebahkan segala penat dan badanku yang terasa lelah sekali beraktifitas disetiap harinya. Kau usap jari jemariku dan rambutku yang terurai panjang serta mukaku yang kusam dipenuhi dengan berbagai cobaan hidup, kasar, berdebu, jijik untuk sebagian orang yang melihatku. Tetapi engkau tak seperti mereka. Itu dasar yang aku suka pada dirimu. Melihat diriku apa adanya dengan setulus hati tanpa bualan dan cuap-cuap belaka. Kupeluk dirimu erat.
Tuhan tahu betapa sulitnya menjalankan hari-hariku tanpamu. Terkadang tuhanpun tahu betapa bencinya aku akan dirimu saat ini. Ku pikir tuhan tidak terlalu tahu bagaimana perasaanku saat ini. Buktinya, aku masih saja merasakan kepedihan yang membuat pupil mataku tidak dapat menerima hal yang menarik di dunia ini. Tuhan tidak tahu itu, tidak semua diketahuiNya.
Secangkir teh yang ku saji sendiri, kini telah tak sehangat saat pertama. Terlalu lama ku mendiamkannya. Terlalu banyak pikiran tentangmu sehingga tak sempat ku jamah minuman kesukaanku ini. Sampai kapan seperti ini. Derau dan kesalahanku seakan menjadi penyebab semuanya terjadi. Ku anggap kali ini aku yang membuatnya menjadi seperti ini, perpisahan yang menyakitkan untuk sebagian orang. Tak semua orang bernasib sepertiku. Tentu merekapun pasti terkapar jatuh bila merasakan hal sepertiku saat ini.
Aku membutuhkanmu, seperti mereka membutuhkanmu. Tetapi tetap saja hanya aku yang sangat membutuhkanmu, bukan mereka. Kembali, tetapi jangan kau kembali dengan membawa segudang kekecawaan yang kau dapat diluar sana untuk dilimpahkan kepadaku, ku hanya ingin dirimu seperti dahulu. Tersenyum dan merebah dipundakmu dengan belaian hangat disaat ku lelah dan ku memejamkan mataku untuk menutup mata.
Kuhanyutkan diriku, hanya untuk mengenangmu...
Comments
Post a Comment