Skip to main content

Saya Menulis Karena Saya Ingin Bercerita


Tak pernah dapat dinginkan oleh semua orang bahwa kita menghabiskan waktu untuk terus bercerita dan membagi semua yang dialami pada waktu-waktu hidupnya.

Suara parau dan tubuh yang lemah tengah tertahan diatas sebuah ranjang kayu panjang yang reot. Duduk terpaku diatas kasur tersebut dengan punggung diselipkan oleh timbunan bantal yang mengakiatkan badan terasa tegak dan tampak duduk. Selimut menggulung hampir seluruh badan. Terpaku yang dirasakan saat ini, mulailah wajah menunduk akan kondisi seperti ini, terlihat tragis.

Datang seorang perempuan paruh baya yang memberikan secangkir teh susu hangat, dia tahu bahwa aku sangat menyukai minuman tersebut baik dalam kondisi sehat maupun tengah tersungkur seperti ini. Tak ayal dari tingkah lakunya, menandakan bahwa dialah yang saat ini memperhatikanku secara keseluruhan. Tatapannya mengindikasikan bahwa mata tersebut tak akan pernah terlepas ataupun menghindar sedikitpun dari badan yang rapuh, aku.

Gelagat wanita tersebut seakan malaikat yang tuhan ciptakan untuk menamaniku saat ini. Aku anggap ini adalah teman baruku untuk saat seperti ini. Teman yang selalu ada, terlihat dari gerak-gerik dan tatapan mata yang selalu tajam melihat gerakan badanku. Terlalu ketat pengewasannya sehingga aku pikir takakan pernah ada hal apapun yang terjadi padaku. Setidaknya sampai tubuh ini pulih seperti sediakala.

Tepat sekali saat ini cuaca sedang memasuki musim hujan. Dan tentunya ini adalah bulan desember. Sedikit teringat masa-masa dahulu bahwa bulan desember selalu diiringi oleh hujan yang mengguyur kota ini. Sudah lama rasanya tidak menikmati suasana hujan didalam ruangan ini. Dua puluh dua tahun yang lalu mungkin kondisiku masih menjadi anak kecil yang semata wayang dimiliki oleh ayah dan ibuku. Tak pernah mendapatkan ijin untuk pergi bermain dengan teman-teman komplek yang pergi keluar untuk bermain air hujan dan tentunya basah-basahan digenangan yang saat itu dapat kami mainkan sebuah perahu-perahuan kecil ataupun sekedar menginjak dan air tersebut menganai baju ataupun muka teman-teman.

Banyak hal yang diceritakan pada saat kondisiku seperti saat ini. Pengalaman masa kecil, pada saat memasuki bangku sekolah dasar, menjadi seorang remaja yan ugal-ugalan dan tentunya saat ini setelah aku tidak dapat dikatakan kembali sebagai anak kecil. Tetapi tetap saja umurku bertambah sebanyak apapun, aku tetap dianggap sebagai anak kecil dibenak kedua orang tuaku. Anak kecil yang selalu ceroboh dan membuat masalah sehingga merepotkan kedua orang tua. Serta anak kecil yang selalu dimanja dan diberikan kasih sayang lebih dari orang tua, mereka mengganggap bahwa aku adalah mainan mereka satu-satunya yang dititipkan tuhan untuk dijaga sebaik mungkin. Betapa indahnya selalu dapat dimanjakan dan diberi kasih sayang seluar biasa saat ini setelah umur dan fisikku tak menggambarkan bahwa aku terlihat seperti anak-anak lagi.

Banyak cerita masa lalu yang aku pikirkan saat ini. Banyak hal yang ingin kusampaikan pada orang tuaku saat ini. Jika tidak aku mungkin lebih baik diam dan duduk diatas kasur reot ini dan menunggu rencana tuhan selanjutnya terhadapku, apakah akan tetap seperti ini, sembuh atau mungkin tuhan telah menyiapkan kendaraan yang akan menjemputku kerumah abadiku kelak, rumah keabadian.
Mengapit dan mencekik tenggorokan ini, sesak terasa yang aku rasakan saat ini. Panik dan tak terbendung teriakan sang malaikatku yang terus merawatku, seorang wanita setengah baya yang selalu tertuju padaku. Tangguh dan cenderung luar biasa untuk wanita tersebut. Aku melihatnya disaat kesadaranku diambang batas normal. Antara sadar maupun tidak sadar, terkapar dan terbersit bahwa aku akan pergi darinya selamanya. Tak perlu lagi dia merawatku untuk tempo waktu yang lama bahkan tak ada batas hingga kapan aku akan seperti ini.

Melayang, otak terasa berhenti sejanak untuk berpikir dan aku merasa aku melihat diriku terbaring dan melihat wanita setengah baya tersebut tetap berada disebelahku sambil menangis dan menggoyangkan tubuhku. Sendu melihatnya, melihat diriku.
Derau dan suara-suara itu seolah terus memanggilku untuk bangun. Aku melihat diriku diatas sini, aku melihatnya. Sedih dirasakan olehku, pada waktu yang sama aku merasakan kesedihan dimana aku tidak berbentuk jiwa lagi seperti dahulu. Kini aku dapat melayang kemanapun aku mau, tapi tetap saja aku merasakan kesedihan dan kesenangan. Aku terlihat tampak seperti manusia, tepatnya aku saat ini sedang koma.

Tak sadarkan diri hingga satu minggu lamanya dan wanita itu...

Malam ini sudah menunjukan pukul delapan malam. Aku ingin bercerita kembali layaknya aku adalah manusia yang dapat berkomunikasi. Aku kali ini bercerita dengan wujud yang berbeda, wujud yang asing bagi diriku dan akan terlihat menakutkan bila mereka melihat wujudku saat ini. Tetap saja, kebiasaanku untuk bercerita disaat aku ingin meneritakan seusatu tak pernah dapat hilang dari kebiasaan, meskipun kini tanpa adanya wujud yang nyata dan terlihat bagi mereka yang kusayangi. Mereka yang selalu menjadi tempatku bercerita.

Batu besar ini semakin panas. Saat ini aku tersadar dari tidur lelapku yang panjang. Tangisan wanita setengah baya tersebut sedikit berkurang. Jari-jariku bergerak sedikit demi sedikit. Wanita tersebut memegang erat tanganku dan berusaha membuatku sadar dan memaksa untuk mengucapkan sepatah dua patah kata terhadapnya.

Bangun... Bangun... Bangun anak semata wayangku..

Terdiam sejanak wanita tersebut dan akupun melihat kearah dia. Belum dapat dengan jelas aku melihat wajahnya, tetapi dapat kupastikan saat itu mimik wajahnya yang kelalahan menungguku tengah berbahagia melihat jiwaku kembali terisi oleh roh yang semat melayang berhari-hari lamanya dan kini kembali untuk mengisi raga ini.

Kupindahkan badan ini ke posisi yang agak jauh dari batu besar tadi yang membuat punggung ini panas dan bahkan cederung kaku. Akhirnya aku sadar juga olehku bahwa batu yang menjadi alas dudukku ini menjadi panas saking terlalu lamanya aku terbaring diatas kasur ini, disini.

Lihatlah aku sekarang, aku berada di tempat antah berantah ini, duduk dan menunggu.

Kali ini, aku merasakan rindu yang begitu besar. Bukan, bukan untuk wanita yang selalu menemaniku setiap waktu hingga kahirnya aku berada diruangan ini. Menunggu sendiri ditempat ini, untukmu seseorang yang mampu gapai namun tidak dapat aku miliki. Belum, belum. Yang mungkin suatu saat bisa aku miliki. Asal satu keraguanku terhapus sudah nantinya.

Apakah kamu disana ditempat yang tidak aku ketahui juga sedang merenung? Jika iya, apakah kita merenungkan hal yang sama?

Ya, aku disini merenungkanmu. Tentang bagaimana susah payanya aku ingin memilikimu, padahal kamu selalu ada di sisiku selama ini. Juga tentang apa-apa yang akankulakukan dala proses pencapaian, tapi terlalu banyak keraguan yang mengusik di alam bawah sadarku.

Ada satu kata yang belum sempat terucap.

Sampai saat ini. Saat tuhan menempatkan aku pada posisi koma, yang tandanya akan semakin mendekati titik. Titik terakhir, mungkin. Dia ada disebalahku. Entah motivasi apa yang menyebabkan ia tahan berada dalam ruangan berbau antiseptik ini. Amor omnia vincit.Cinta menglahkan segalanya.

Dan saat ini, dihari ke-27 aku terbaring setengah bernyawa setengah tidak dengan selang-selang disekeliling, ia tertidur sambil mengelus urat nadiku yang menonjol. Selihat ia merunut semua rangkaian kisa hidup yang pernah ia jalani bersamaku.

Ada perasaan yang terlampau bahagia sehingga sulit untuk dilukiskan. Ketika beberapa hari yang lalu aku seperti melakukan perjalanan ke suatu tempat entah di mana. Sinar yang begitu menyilaukan namun tak menyakitkan andangan menyambut kedatanganku. Sungguh saat itu aku bahagia, sebelum alat kejut jantung menggetarkan ruh tubuh untuk hidup dan memasuki kembali jiwa ini. Walau masih dalam keadaan koma, satu kata yang herannnya tetap mengganjal itu muncul lagi.

Hari berlalu, aku menghitung napas yang kelak berat. Tak perlu aku menjejak ke tanah untuk tahu seberapa sulit langkahku. Tak btuh bibirku bergerak untuk menceritakan pengalamanku. Karena aku tahu semua itu mendekati kata mustahil untuk dilakukan.

Juga ada rasa rindu yang sangat, dan sejujurnya merasakan nyawanya yang lebih hidup terus mendampingiku di sini terasa lebih hidup terus mendampingiku du subu terasa kebih menyakitkan dibanding jarum-jarum yang telah puluhan kali menusuk lapisan kulit ini. Jika ada perumpamaan “nasi telah menjadi bubur”, jadikan saja sekalian bubur itu air tajin. Ditambah satu ‘kata’ itu, sepertinya makin masuk akal untuk menyetarakan hidupku dengan air tajin.

Aku adalah manusia paling brengsek sedunia. Yang dulu pernah bersamanya, kemudian meninggalkannya demi dunia semu dengan puluhan wania lain, yang berganti tiap malamnya, hingga kecelakaan paling mengenaskan sepanjang tahun, lalu berakhir menutup mata, berada di ambang hidup, dan menemukannya berani menemani sisa waktu manusia paling brengsek sejagad raya ini.

Kalau dahulu dia dengan mudah mempertaruhkan seluruh harapannya untuk menungguku, kena untuk memberinya satu kata yang ingin dia dengar justru begitu sulit untuk kulontarkan? Jika memang ajal sudah semakin dekat mengejarku, mengapa tidak kau izinkan aku untuk mengucapnya, wahai Tuhan yang selalu kupuji?

Karena aku merasa sakit dan akan segera pergi, tanpa waktu yang tak pasti.

Atau justru aku sudah pergi dan waktu itu telah pasti datang? Hanya saja aku belum tahu?

Jika memang begitu, selain sebagai manusia paling brengsek, aku mengklaim diriku sebagai manusia yang tidak beruntung di dunia.

Yang bakal aku jalani akan berlangsung selamanya. Entah itu hitungan detik, jam, hari, pekan, bulan yang terlalu lama, atau tahun yang pasti menyiksa, tersisa untuk mengumpulkan kekuatan sekaligus takdir baik hingga aku bisa menyelesaikan ‘tugas’ akhirku itu.

Aku telah memiliki dia seutuhnya. Bahasa jiwanya yang bisa kupahami justru dalam keadaan yang lebih baik dari diriku saat ini. Tak perlu aku terbangun dan mengucap terima kasih. Bagaimana caranya nanti aku akan sampaikan rasa terima kasihku padanya. Dan bagaimanapun caranya, nanti akan sampai padanya.

“Ucapkan maaf dan kaupun kan tetap disini.” Beberapa hari yang lalu aku dengar diamengatakannya di sela isak tangis saat sang dokter memvonis dengan seenaknya hari yang akan tertulis di niasku.

Ya. Semua sudah kuyakini. Semua harus lunas saat ini juga.

Hanya kubutuhkan satu gerak otot dan satu indera untuk memulainya. Tak perlu isyarat karena kini aku katakan.

“Maaf...”

Kudengar kata “Ya” dan senyum mendadak membersit di hatiku. Ia melantunkan kata tersebut dari bibirnya yang manis dan wajahnya tampak sumringah saat mengucapkannya, sekali lagi itu sangat membersit hatiku.
Sekarang saatnya menutup mata, menghentikan seluruh pencapaian, karena segalanya telah terbayar. Tak ada yang berat dan sakit dalam perjalanan ini.

Selamanya, selamanya...

Bercerita adalah kebiasaanku yang lama-lama menjadi hobi. Bisa sampai nanti, sampai mati aku tetap bercerita. Tetapi dengan kondisi bahwa aku tengah ingin bercerita, aku akan bercerita. Tetapi bila tidak, aku lebih baik diam. Kali ini pikiranku benar-benar butuh waktu kosong untuk dihabiskan sednri. Merenung.

Hitung nafas yang kelak berat’Kau kan sakit dan pergi
Tanpa waktu yang pasti
Selamanya, selamanya
Oh, selamanya
Melawan hati yang tak pernah padam
Akan hilang
Uapkan maaf
Dan kaupun kan tetap disini
Selamanya, selamanya
Oh, selamanya

Titile : Kata
Artist : The Trees and The Wild

Comments

Popular posts from this blog

Mocca make me feel so happy

  Mocca, sebuah sesuatu yang sangat sering saya dengar didalam kampus maupun diluar kampus, dikota besar maupun dikota kecil. Banyak yang menyukai mocca. Mocca menurut mereka adalah salah satu minuman favorit yang wajib diketahui dan wajib dicioba. Sepintas terlihat memang minuman ini sungguh membuat lidah ingin mencicipi kelembutan float dan rasa mocca yang begitu menenangkan jiwa. Bandung merupakan kawasan kota yang dapat dibilang mempunyai hawa yang sejuk dan dingin pada saat malam. Saya sering mencoba kebeberapa cafe saat malam datang untuk sekedar menikmati mocca disetiap cafe yang saya kunjungi. Terasa kenikmatan mocca yang sangat menggigit dilidah dan menyenangkan dihati.  Beberapa bulan saya tinggal disini sudah ada beberapa cafe yang saya datangi untuk sekedar hanya menikmati mocca disetiap cafe tersebut. Harga untuk mocca memang sangat tergantung apa yang hendak dipesan. Tapi taste yang menyentuh jiwa tidak dapat dihargai sedikitpun. Kenikmatan, keindahan, aroma, dan rasa

I love you daddy

 When I was a baby 1. He cried when he first saw me. 2. He bought me everything I needed. 3. He smiled when he first heard our first word - even if it wasn’t DADDY. 4. He never gave up teaching me the simplest things. When I am a teenager 5. He works days and nights, and never complains. 6. He still buys me everything I need. 7. He is never mad when my report card is on fire, He smiles and says, “You will do better than this.” 8. He supports me in everything I do. 9. He comes to my tennis games and supports me like a mad-fan. 10. He still reminds me to have my breakfast, lunch and dinner so I’ll never skip them. 11. He sets my latest-hour to be out with my friends. 12. His smile makes me feel much better. 13. His hug can never be replaced by anyone else. 14. Even when he is tired, he still takes a moment of his time, goes to my room and sees me sleep. 15. He loves me for who I really am. 16. He keeps on calling when I don’t pick up the calls. 17. He never yells.

Hospital 2007

Sebuah ruangan entah nomor berapa kamu terbaring lemas dan tidak berdaya. Wajahmu memancarkan perbedaan yang sangat berbeda, tidak seperti biasanya. Bibirmu yang hanya dapat tersenyum dengan harapan dapat memberitahu kepadaku bahwa kau baik-baik saja. Selang infus dan selang tabung oksigen tertancap didalam lengan kiri dan hidungmu yang mancung. Sungguh ini menyedihkan bagiku untuk melihatmu dalam keadaan seperti itu. Hari ini kau memasuki hari pertama untuk merelaksasikan tubuhmu dalam pangkuan sebuah kasur yang sangat jauh berbeda dengan kasurmu yang nyaman, dirumahmu. Tercium aroma untuk kamarmu saat ini yang sangat berbeda dengan aroma tubuhmu yang begitu harum dan menyenangkan. Tercium bebauan yang sangat lazin halnya untuk disebuah rumah yang semua orang berkunjung hanya untuk menengok orang sakit. Sebuah rumah yang sakit atau hanya aku saja yang menyebut rumah yang sakit ? Sudah beberapa hari ini aku menemanimu diruangan yang tidak pernah kita harapkan dan tidak membuat n